Sabtu, 19 Desember 2009

Variasi Ras Manusia Bukan Bukti Kebenaran Teori Evolusi !


Terdapat sejumlah evolusionis yang berusaha mengajukan keragaman ras sebagai bukti kebenaran evolusi. Pada kenyataannya, pernyataan ini sebenarnya lebih sering dikeluarkan oleh para evolusionis amatir dengan pemahaman yang kurang memadai atas teori yang mereka dukung tersebut.
Tesis yang diajukan oleh pendukung pernyataan itu didasarkan atas pertanyaan, “Jika, seperti dikatakan sumber-sumber agama samawi, kehidupan memang diawali oleh seorang lelaki dan seorang perempuan, mengapa beragam ras muncul?” Dengan kata lain, maksud pertanyaan itu adalah, “Karena tinggi badan, warna kulit, serta ciri fisik lain pada Adam dan Hawa hanyalah ciri fisik dua orang saja, mengapa berbagai ras dengan ciri fisik yang sama sekali berlainan dapat muncul?”
Sebenarnya, yang menjadi dasar semua pertanyaan atau sangkalan itu adalah kurangnya pengetahuan tentang hukum-hukum genetika, atau ketidakperdulian mereka atas ilmu tersebut. Agar kita dapat memahami penyebab keragaman ras di dunia kini, kita harus lebih dahulu memahami “variasi”, suatu pokok bahasan yang terkait erat dengan pertanyaan ini.
Variasi adalah sebuah istilah dalam ilmu genetika, yaitu peristiwa genetis yang menyebabkan timbulnya perbedaan ciri-ciri satu atau sekelompok individu dalam suatu jenis atau spesies tertentu. Sumber variasi adalah informasi genetis yang dimiliki individu dalam spesies itu. Sebagai akibat perkawinan antar individu, informasi genetis itu bergabung dalam berbagai kombinasi pada generasi berikutnya. Terjadi pertukaran materi genetis antara kromosom ayah dan kromosom ibu. Jadi, gen saling bercampur-baur. Hasilnya, terdapat ciri-ciri individual yang sangat beragam.
Ciri-ciri fisik yang berbeda antar-ras manusia yang berbeda ditimbulkan oleh variasi yang terdapat dalam ras manusia. Semua orang di muka bumi memiliki informasi genetis yang pada dasarnya sama, namun ada yang bermata sipit, ada yang berambut merah, ada yang berhidung mancung, ada yang bertubuh pendek, tergantung sejauh mana potensi variasi informasi genetis ini.
Agar kita memahami potensi variasi ini, cobalah bayangkan sebuah masyarakat di mana kelompok individu berambut coklat dan bermata coklat lebih dominan, dibandingkan individu-individu berambut pirang dan bermata biru. Lama-kelamaan, sebagai hasil dari perbauran dan pernikahan silang, dihasilkan keturunan berambut coklat dan bermata biru. Dengan perkataan lain, ciri fisik kedua kelompok itu akan bergabung dalam keturunan berikutnya dan menghasilkan penampilan baru. Bila kita bayangkan ciri fisik lainnya pun berpadu seperti itu, sangatlah jelas bahwa akan muncul variasi yang sangat beragam.
Hal penting yang harus dipahami di sini adalah: Setiap ciri fisik ditentukan oleh dua buah gen. Salah satu gen mungkin lebih dominan, atau keduanya sama kuat. Contohnya, ada sepasang gen yang menentukan warna mata seseorang – satu gen dari ibu dan satunya lagi dari ayah. Warna mata orang tersebut ditentukan oleh gen yang dominan. Pada umumnya, warna gelap lebih dominan daripada warna terang. Jadi, bila seseorang memiliki gen mata coklat dan gen mata biru, maka warna matanya akan coklat, karena yang dominan adalah gen warna mata coklat. Namun gen yang bersifat resesif tetap diturunkan, dan mungkin muncul pada masa (generasi – terj.) selanjutnya. Dengan kata lain, pasangan ayah dan ibu yang keduanya bermata coklat dapat memperoleh anak bermata hijau. Hal ini disebabkan karena gen warna tersebut bersifat resesif dan terdapat pada kedua orangtua.
Kaidah ini berlaku juga untuk ciri-ciri fisik lain beserta gen-gen pengaturnya. Ratusan, bahkan ribuan ciri fisik, seperti telinga, hidung, bentuk mulut, tinggi badan, struktur tulang, dan struktur, bentuk serta sifat dari sebuah organ, kesemuanya diatur dengan cara yang serupa. Berkat hal ini, informasi tak terhingga yang terdapat di dalam struktur genetis dapat diturunkan ke generasi berikutnya, tanpa harus tampak dari luar. Adam, manusia pertama, dan Hawa, mampu menurunkan informasi yang kaya dalam struktur genetis mereka kepada keturunan mereka, walau yang tampak dari luar hanya sebagian saja. Isolasi geografis yang terjadi sepanjang sejarah manusia telah mengakibatkan ciri-ciri fisik tertentu terkumpul dalam suatu kelompok. Lama-kelamaan, masing-masing kelompok memiliki ciri tubuh yang khas, misalnya struktur tulang, warna kulit, tinggi badan, dan volume tengkorak kepala. Akhirnya, terbentuklah beragam ras.
Akan tetapi, tentunya waktu yang panjang tidak akan merubah satu hal. Tak menjadi soal, apa pun tinggi, warna kulit dan volume otak, seluruh ras adalah bagian dari spesies manusia.


Sumber : HARUN YAHYA
( Runtuhnya Teori Evolusi )

Tanda - Tanda Seseorang Mencintaimu


Bukankah

1. Seseorang yang mencintai kamu, tidak bisa memberikan alasan mengapa,
ia mencintaimu. Dia hanya tahu, dimata dia, kamulah satu satunya.

2. Seseorang yang mencintai kamu, jarang memujimu, tetapi di dalam
hatinya, kamu adalah yang terbaik.

3. Seseorang yang mencintai kamu, akan marah atau kecewa berat jika
kamu tidak membalas pesannya atau telponnya, karena ia peduli dan ia
tidak ingin sesuatu yang membahayakan terjadi padamu.

4. Seseorang yang mencintai kamu, hanya menjatuhkan airmatanya
dihadapanmu. Ketika kamu mencoba untuk menghapus air matanya, kamu telah
menyentuh hatinya, dimana hatinya selalu bergetar untuk kamu…

5. Seseorang yang mencintai kamu, akan mengingat setiap kata yg kamu
ucapkan, bahkan yang tidak sengaja dan ia akan selalu menggunakan kata2
itu tepat waktunya...

6. Seseorang yang mencintai kamu, tidak akan memberikan janji apapun
dengan mudah, karena ia tidak mau mengingkari janjinya. Ia ingin kamu
untuk mempercayainya dan ia ingin memberikan hidup yang paling bahagia
dan aman selama-lamanya…

7. Seseorang yang mencintai kamu, mungkin tidak bisa mengingat kejadian/
kesempatan istimewa, seperti perayaan hari ulang tahunmu, tapi ia tahu
bahwa setiap detik yang ia lalui, ia mencintai kamu, tidak peduli hari
apakah hari ini…

8. Seseorang yang mencintai kamu, tidak mau berkata Aku mencintaimu
dengan mudah, karena segalanya yang ia lakukan untuk kamu adalah untuk
menunjukkan bahwa ia siap mencintaimu, tetapi hanya ia yg akan
mengatakan kata "I LOVE U" pada situasi yang spesial, karena ia tidak
mau kamu salah mengerti, dia mau kamu mengetahui bahwa ia mencintai dirimu…

9. Seseorang yang benar2 mencintai kamu, akan merasa bahwa sesuatu
harus dikatakan sekali saja, karena ia berpikir bahwa kamu telah
mengerti dirinya. Jika berkata terlalu banyak, ia akan merasa bahwa
tidak ada yang akan membuatnya bahagia / tersenyum…

10. Seseorang yang mencintai kamu, akan pergi ke bandara atau terminal atau
stasiun kereta untuk menjemput kamu, dia tidak akan membawa seikat mawar
dan memanggilmu sayang seperti yang kamu harapkan.
Tetapi, ia akan membawakan kopermu dan menanyakan :
Mengapa kamu menjadi lebih kurus dalam waktu 2 hari ?Dengan hatinya yang
tulus.

11. Seseorang yang mencintai kamu, tidak tahu apakah ia harus menelponmu
ketika kamu marah, tetapi ia akan mengirimkan pesan setelah beberapa
jam. Jika kamu menanyakan : mengapa ia telat menelepon, ia akan berkata
: Ketika kamu marah, penjelasan dari dirinya semua hanyalah sampah.
Tetapi, ketika kamu sudah tenang, penjelasannya baru akan benar - benar
berarti.

12. Seseorang yang mencintaimu, akan selalu menyimpan semua benda2 yang
telah kamu berikan, misalkan : kertas kecil bertuliskan 'I LOVE U' ada
didalam dompetnya...

13. Seseorang yang mencintaimu, jarang mengatakan kata - kata manis. Tapi kamu
tahu, kecupan atau pelukannya sudah menyalurkan semua. Seseorang yang mencintai
kamu, akan selalu berusaha membuat mu tersenyum dan tertawa walau
terkadang caranya membingungkanmu.

14. Seseorang yang mencintaimu, akan membalut hatimu yang pernah terluka dan
menjaganya dengan setulus hati agar tidak terluka lagi dan ia akan
memberikanmu yang terbaik walau harus menyakiti hatinya sendiri.

15. Seseorang yang mencintaimu, akan rela melepaskanmu pergi bila bersamanya
kamu tidak bahagia dan ia akan ikut bahagia walau kamu yang dicintainya
bahagia bersama orang lain.

Banjir Di Jaman Nabi NUH


Sebagaimana Banjir Nuh itu juga dikisahkan dalam hampir seluruh kebudayaan manusia, banjir Nuh adalah salah satu dari sekian banyak contoh kisah-kisah yang paling banyak diuraikan dalam Al-Qur'an. Kengganan umat Nabi Nuh terhadap nasehat dan peringatan dari Nabi Nuh, bagaimana reaksi mereka terhadap risalah Nabi Nuh, serta bagaimana peristiwa banjir selengkapnya terjadi, semuanya diceritakan dengan sangat detail dalam banyak ayat Al-Qur'an.
Nabi Nuh diutus untuk mengingatkan umatnya yang telah meninggalkan ayat-ayat Allah dan menyekutukanNya, dan menegaskan kepada mereka untuk hanya menyembah Allah saja dan berhenti dari sikap pembangkangan mereka. Meskipun Nabi Nuh telah menasehati umatnya berkali-kali untuk mentaati perintah Allah serta mengingatkan akan murka Allah, mereka masih saja menolak dan terus menyekutukan Allah.
Tentang bagaimana kejadian itu berkembang, dilukiskan dengan jelas dalam ayat-ayat berikut:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu ia berkata “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?”. Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu , yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu . Dan kalau Allah menghendaki , tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar seruan (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila , maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu. Nuh berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku” .(Al-Mukminun : 23-26)

Sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat tersebut, pemuka masyarakat di sekitar Nabi Nuh berusaha menuduh bahwa Nabi Nuh telah berusaha untuk munjukkan superioritasnya atas masyarakat lingkungannya, mencari keuntungan pribadi seperti status sosial, kepemimpinan dan kekayaan......
Karena itulah, Allah menyampaikan pada Rasulullah Nuh bahwa mereka yang menolak kebenaran dan melakukan kesalahan akan dihukum dengan detenggelamkan, dan mereka yang beriman akan diselamatkan.
Maka, pada saat hukuman datang, air dan aliran yang sangat deras muncul dan menyembur dari dalam tanah, yang dibarengi dengan hujan yang sangat lebat, telah menyebabkan banjir yang dahsyat. Allah memerintahkan kepada Nuh untuk "menaikkan ke atas berahu pasangan-pasangan dari setiap species, jantan dan betina, serta keluarganya”. Seluruh manusia di daratan tersebut ditenggelamkan ke dalam air, termasuk anak laki-laki Nabi Nuh yang semula berpikir bahwa dia bisa selamat dengan mengungsi ke sebuah gunung yang dekat. Semuanya tenggelam kecuali yang dimuat di dalam perahu bersama Nabi Nuh. Ketika air surut di akhir banjir tersebut, dan "kejadian telah berakhir", perahu terdampar di Judi, yaitu sebuah tempat yang tinggi, sebagaimana yang diinformasikan oleh Qur'an kepada kita.
Studi arkeologis, geologis, dan studi historis menunjukkan bahwa insiden tersebut terjadi dengan cara yang sangat mirip dan berhubungan dengan informasi al-Qur'an. Banjir tersebut juga digambarkan secara hampir mirip di dalam beberapa rekaman atas peradaban-pertadaban masa lalu di dalam banyak dokumen sejarah, meski ciri-ciri dan nama-nama tempat bervariasi, dan "seluruh apa yang terjadi pada sebuah asbak manusia" disajikan untuk manusia saat ini dengan tujuan sebagai peringatan.
Di samping dikemukakan dalam Perjanjian Lama, kisah tentang banjir Nuh ini diungkap dengan cara yang hampir mirip dalam rekaman-rekaman sejarah Sumeria dan Assiria-Babilonia, dalam legenda-legenda Yunani, dalam Shatapatha, Brahmana serta epik-epik dalam Mahabarata dari India, dalam beberapa legenda dari Welsh di British Isles, di dalam Nordic Edda, dalam legenda-leganda Lituania, dan bahkan dalam cerita-cerita yang berasal dari Cina.
Bagaimana mungkin bisa terjadi, cerita-cerita yang sebegitu detail dan konsisten bisa didapat dari daratan-daratan yang secara gegografis dan kultural berbeda jauh, yang saling berjauhan letaknya baik antara satu tempat dengan tempat yang lainnya, maupun dari tempat-tempat tersebut dengan tempat terjadinya banjir?.
Jawabannya sangat jelas: fakta bahwa peristiwa yang sama, yang saling berkaitan dalam berbagai rekaman sejarah berbagai bangsa tersebut, yang mana sangat kecil kemungkinannya bahwa mereka bisa saling berkomunikasi (mengingat masih rendahnya peradaban masa itu), itu semua merupakan bukti yang sangat gamblang bahwa orang-orang dari berbagai bangsa itu menerima pengetahuan tentang banjir itu dari sebuah sumber Ilahiah. Nampaknya bahwa banjir Nuh, salah satu dari tragedi yang paling besar dan destruktif sepanjang sejarah itu, telah diriwayatkan oleh banyak Nabi yang diutus ke berbagai peradaban bangsa-bangsa dengan tujuan untuk memberikan sebuah contoh atau I’tibar. Dengan demikian bisalah dipahami dengan mudah bahwa berita tentang banjir Nuh itu tersebar dalam berbagai budaya di dunia.
Namun, di balik diriwayatkannya kejadian itu dalam berbagai budaya dan sumber-sumber ajaran berbagai agama, cerita banjir dan tragedi yang terjadi pada masa Nabi Nuh itu telah mengalami perubahan yang cukup banyak dan telah terpendar dari kisah aslinya dikarenakan kepalsuan berbagai sumber ceritanya, pemindahan cerita dengan cara yang tidak benar, atau bahkan mungkin dikarenakan memang sengaja dilakukan untuk suatu tujuan-tujuan yang tidak baik. Riset menunjukkan bahwa, di antara sekian banyak riwayat tentang banjir Nuh yang secara mendasar masih berkaitan namun dengan berbagai perbedaan, satu-satunya penggambaran (periwayatan) yang paling konsisten hanya satu, yakni di dalam al-Qur’an.


Nabi Nuh dan Banjir dalam al-Qur’an

Banjir Nuh disebutkan dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an. Di bawah ini bisa dilihat ayat-ayat yang disusun berdasarkan urut-urutan peristiwa banjir tersebut:

Nabi Nuh Menyeru Kaumnya pada Agama Kebenaran

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnyalalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selainNya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)”. (Al-A’raf: 59)

Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. QS. Asy-Syuara’: 107-110)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu ia berkata “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?”.QS. Al-Mukminun: 23)

Peringatan Nabi Nuh kepada kaumnya untuk Menghindari Hukuman dari Allah Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan):

“Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih”(QS. Nuh: 1)

Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal. (QS. Hud:39)

Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. (QS. Hud: 26)


Pembangkangan kaum Nabi Nuh

Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”.(QS. Al-A’raf: 60)

Mereka berkata: “Hai Nuh sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar. (QS. Hud: 32)

Dan mulailah Nuh membuat bahtera . Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkata Nuh: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). (QS. Hud: 38)

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu , yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu . Dan kalau Allah menghendaki , tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar seruan (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu. (QS. Al-Mukminun: 24-25)

Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: “Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman”.(QS. Al-Qamar: 9)

Penghinaan terhadap para pengikut Nabi Nuh

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu , melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu , melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”. (QS. Hud: 27)

Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” Nuh menjawab: “Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan?”. Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari .Dan aku sekali-kali tidka akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang menjelaskan. (QS. Asy-Syuara’: 111-115)

Peringatan Allah agar Nabi Nuh tidak Bersedih
Dan diwahyukan kepada Nuh , bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Hud: 36)

Doa Nabi Nuh

Maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka , dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku. (QS. Asy-Syuara’: 118).

Maka dia mengadu kepada Tuhannya : “bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku). (QS. Al-Qamar: 10)

Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (QS. Nuh: 5-6).

Nuh berdoa : “Ya Tuhanku tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku.”(QS. Al-Mukminun: 26)

Sesungguhnya Nuh telah menyeru kami : Maka sesungguhnya sebaik-baik yang memperkenankan (adalah Kami).(QS. Ash-Shaffat: 75)

Pembuatan Kapal (Bahtera)

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami , dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim itu , sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)

Penghancuran umat Nabi Nuh dengan cara Ditenggelamkan

Maka mereka mendustakan Nuh , kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).(QS. Al-A’raf: 64)

Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal.(QS. Asy-Syuara: 120)

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.Maka mereka ditimpa banjir besar , dan mereka adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al- Ankabut: 14)

Dibinasakannya Putera Nabi Nuh

Al-Qur’an sehubungan dengan dengan dialog yang terjadi antara Nabi Nuh dan puteranya, pada tahap-tahap awal dari terjadinya banjir mengungkapkan:

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat jauh terpencil : “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!”. Nuh berkata : “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya ; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (QS. Hud: 42-43)

Diselamatkannya Orang-Orang yang Beriman dari Banjir

Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan.(QS. Asy-Syuara: 119).

Maka kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia. (QS. Al-Ankabut: 15)
Bentuk Fisik dari Banjir yang Terjadi
Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah . Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. (QS. Al-Qamar: 11-13).

Hingga apabila perintah Kami datang dan ‘dapur’(permukaan bumi yang memancarkan air hingga meneyebabkan timbulnya taufan) telah memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat jauh terpencil : “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”. (QS. Hud: 40-42).

Lalu Kami wahyukan kepadanya : “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan ‘tannur’ telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.(QS. Al-Mukminun: 27)

Terdamparnya Perahu di Tempat yang Tinggi

Dan difirmankan: “Hai bumi tahanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim”. (QS. Hud: 44)

I’tibar yang Diambil dari Peristiwa Banjir

Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa )nenek moyang) kamu ke dalam bahtera, agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar. (QS. Al-Haqqah: 11-12)

Pujian Allah terhadap Nabi Nuh

“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam”. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ash-Shaffat: 79-81)


Apakah Banjir itu Bencana Lokal Saja ataukah Global ?

Mereka yang menolak realitas terjadinya Banjir masa nabi Nuh, menopang pendirian mereka dengan menyatakan bahwa banjir global atas seluruh dunia adalah suatu hal yang mustahil. Bukan hanya itu, penyangkalan mereka atas terjadinya banjir yang bagaimanapun bentuknya adalah ditujukan untuk menyerang apa yang telah dikemukakan al-Qur’an. Menurut mereka, semua kitab yang berasal dari wahyu, termasuk al-Qur’an, mempertahankan pendirian bahwa banjir Nuh adalah banjir yang global, dan karenanya, seluruh berita itu adalah informasi yang keliru.

Penolakan terhadap pernyataan al-Qur’an ini tidak benar. Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah, dan al-Qur’an ini merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak terrubah. Al-Qur’an memandang banjir dengan sudut pandang yang sangat berbeda dibandingkan cara pandang Pentateuch dan legenda-legenda tentang banjir yang lain yang diriwayatkan dalam berbagai kebudayaan. Pentateuch, nama bagi lima buku (kitab) pertama dalam Perjanjian Lama, menyatakan bahwa banjir tersebut bersifal global, menutupi seluruh bumi.
Namun, al-Qur’an tidak memberikan keterangan seperti itu, dan sebaliknya, ayat-ayat yag relevan dengan peristiwa ini membawa pada suatu kesimpulan bahwa banjir itu hanya bersifat regional (menutupi wilayah tertentu) dan tidak menutupi seluruh bumi, dan hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh saja yang mereka itu telah diberi peringatan oleh nabi Nuh dan akhirnya membangkang, sehingga mereka dihukum.
Ketika riwayat-riwayat tentang banjir dalam Perjanjian Lama dan riwayat-riwayat sejenis dalam Al-Qur’an diuji, perbedaannya sederhana saja. Perjanjian Lama, yang telah mengalami banyak perubahan dalam penambahan sepanjang sejarahnya, yang karenya tidak bisa dinilai sebagai wahyu yang orisinil, menggambarkan bagaimana banjir berawal dalam uraian sebagai berikut:

“Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia di bumi adalah besar, dan bahwa setiap imajinasi dari pikiran-pikiran dalam hatinya hanya selalu perbuatan jahat. Dan ini menjadikan Allah menyesali bahwa Dia telah menciptakan manusia, dan ini menyedihkan hatiNya. Dan Tuhan berkata, “Saya akan membinasakan manusia yang telah saya ciptakan dari permukaan bumi; kedua jenis yang ada, manusia dan binatang, dan segala yang merayap, dan unggas-unggas di udara, yang karena telah mengecewakanKu yang telah mencipatakan mereka. Akan tetapi, (Nabi) Nuh mendapatkan kasih sayang di mata Tuhan” (Genesis, 6: 5-8)

Meski demikian, dalam al-Qur’an, diperlihatkan dengan jelas bahwa banjir itu tidak meliputi seluruh dunia (bumi), tetapi hanya umat Nabi Nuh yang dihancurkan. Tidak berbeda sebagaimana Nabi Hud diutus hanya untuk kaum ‘Ad (QS. Hud: 50), Nabi Shalih diutus untuk kaum Tsamud (QS. Hud: 61) serta seluruh Nabi kemudian sebelumMuhammad adalah diutus hanya untuk umat mereka saja, Nabi Nuh hanya diutus untuk umatnya dan banjir tersebut hanya menyebabkan punahnya umat Nabi Nuh;

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. (QS. Hud: 25-26)

Mereka yang dimusnahkan adalah orang-orang yang secara total tidak menghiraukan Proklamasi Nabi Nuh akan kerasulannya dan senantiasa menentang. Ayat-ayat yang senada telah menggambarkan dengan cara yang cukup gamblang:

Maka mereka mendustakan Nuh , kemudian kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).(QS. Al-A’raf: 64).

Di samping itu, dalam al-Qur’an , Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan menghancurkan suatu komunitas masyarakat kecuali seorang rasul telah diutus kepada mereka. Penghancuran terjadi jika seorang pemberi peringatan telah sampai kepada suatu kaum, dan pemberi peringatan itu didustakan. Allah menyatakan hal itu dalam Surat al-Qashash:

Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman. (QS. Al-Qashash: 59).

Bukanlah cara Allah untuk mengancurkan suatu kaum yang kepada mereka belum Dia turunkan rasul. Sebagai seorang pemberi peringatan, Nuh hanya diutus untuk kaumnya saja. Karena itu, Allah tidak menghancurkan kaum-kaum yang kepada mereka tidak Dia utus rasul, akan tetapi Allah hanya menghancurkan umat Nabi Nuh.
Dari penyataan-pernyataan dalam al-Qur’an ini, kita bisa memastikan bahwa banjir tersebut adalah bencana yang bersifat lokal, bukannya global (seluruh dunia). Penggalian-penggalian yang dilakukan pada daerah-daerah arkeologis yang diperkirakan sebagai lokasi terjadinya banjir – yang nanti akan kita bahas berikutnya— menunjukkan bahwa banjir tersebut bukanlah sebuah peristiwa global yang mempengaruhi seluruh bumi, akan tetapi merupakan sebuah bencana yang sangat luas yang mempengaruhi bagian tertentu dari wilayah Mesopotamia.

Apakah Seluruh Binatang ikut Dinaikkan ke atas Perahu?

Para penfasir Bibel yakin bahwa Nabi Nuh memasukkan seluruh species binatang yang ada di muka bumi ke atas Perahu dan binatang-binatang itu bisa selamat dari kepunahan karena kebaikan Nabi Nuh itu. Menurut apa yang mereka yakini ini, setiap pasang dari tiap species yang ada di muka bumi juga dibawa bersama ke atas perahu.
Mereka yang mempertahankan pernyataan itu dengan tanpa ragu harus menghadapi kejanggalan-kejanggalan yang serius dalam berbagai hal. Pertanyaan tentang bagaimana berbagai jenis binatang yang diangkut ke atas perahu itu diberi makan, bagaimana mereka ditempatkan di dalam perahu itu (kandang-kandang untuk mereka), atau bagaimana mereka dipisahkan satu dengan lainnya adalah pertanyaan-pertanyaan yang mustahil bisa terjawab. Lagi pula, masih ada beberapa pertanyaan yang tersisa: bagaimana binatang-binatang yang berasal dari berbagai benua (daratan) yang berbeda bisa dibawa bersamaan – berbagai mamalia yang ada di kutub, kanguru dari Australia, atau bison yang Aneh dari Amerika?. Juga, masih adalah berbagai pertanyaan lebih banyak lagi, seperti, bagaimana binatang yang sangat membahayakan – yang berbisa seperi berbagai jenis ular, kalajengking dan binatang-binatang buas – itu semua bisa ditangkap, serta bagaimana mereka bisa bertahan padahal dipisahkan dari habitat alamiahnya untuk suatu waktu hingga banjir itu surut?.
Ini adalah berbagai pertanyaan yang dihadapi oleh Perjanjian Lama. Di dalam al-Qur’an, tidak ada pernyataan yang mengindikasikan bahwa seluruh species binatang di muka bumi dinaikkan ke atas perahu. Dan sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, banjir tersebut terjadi dalam sebuah wilayah tertentu saja, sehingga, binatang yang dinaikkan perahu pun hanyalah yang hidup di wilayah di mana umat Nabi Nuh itu tinggal.

Meski demikian, ini adalah bukti bahwa mustahil sekalipun hanya untuk mengumpulkan seluruh jenis binatang yang hidup di wilayah tersebut. Sulit dipikirkan Nabi Nuh beserta sejumlah kecil orang-orang yang beriman yang menyertainya (QS. Hud: 40) pergi menuju ke segala penjuru untuk mengumpulan masing-masing dua ekor dari ratusan species binatang di sekitar mereka. Bahkan, lebih mustahil lagi bagi mereka untuk mengumpulkan berbagai tipe serangga yang hidup di wilayah mereka, serta untuk memisahkan antara yang jantan dan betina!. Ini alasan mengapa yang lebih memungkinkan adalah bahwa yang dikumpulkan itu hanya binatang yang bisa dengan mudah ditangkap dan dipelihara, dan karenanya, binatang tersebut adalah binatang ternak yang secara khusus berguna bagi manusia. Nabi Nuh agaknya memasukkan ke atas perahu binatang binatang sejenis itu, yakni seperti, sapi, biri-biri, kuda, unggas, unta dan sejenisnya, karena inilah binatang-binatang yang dibutuhkan untuk penyangga kehidupan baru bagi di wilayah yang telah kehilangan sejumlah besar prasarana hidup dikarenakan bencana banjir tersebut.
Di sini masalah penting terletak pada bahwa kebijaksanaan Ilahiah dalam perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk untuk mengumpulkan berbagai binatang terletak pada arahan untuk menumpulkan binatang-binatang yang dibutuhkan untuk kehidupan baru setelah banjir berakhir daripada untuk kepentingan mempertahankan genus berbagai binatang. Selama banjir itu bersifat lokal, maka kepunahan berbagai jenis binatang tidak akan mungkin terjadi. Agaknya ada kecenderungan bahwa pada masa setelah banjir, berbagai binatang dari wilayah-wilayah lain bermigrasi ke tempat tersebut dan memadati daerah tersebut dengan cara kehidupan lama yang pernah ada. Sehingga yang terpenting adalah bahwa kehidupan bisa dirintis kembali begitu banjir berakhir, dan binatang-binatang yang dikumpulkan (dan diangkut ke atas perahu) adalah dimaksudkan untuk tujuan perintisan kehidupan seperti itu.

Berapa Tinggikah Air Banjir Tersebut?

Perdebatan lain di seputar masalah banjir itu adalah, apakah banjir itu memancar dan menggenang sebegitu tingginya sehingga menenggelamkan gunung?. Sebagaimana telah diberitahukan, al-Qur’an menginformasikan kepada kita bahwa perahu Nabi Nuh itu terdampat di suati tempat yang bernama “al-Judi” setelah banjir selesai. Kata-kata “judi” secara umum merujuk pada lokasi gunung tertentu, sedangkan kata-kata itu memiliki arti “tempat yang tinggi atau bukit”. Karenanya, hendaknya jangan dilupakan bahwa di dalam al-Qur’an , “judi” bisa jadi tidak digunakan sebagai nama bagi gunung tertentu, akan tetapi untuk menunjukkan bahwa perahu telah terdampar dan terhenti pada sebuah tempat yang tinggi. Di samping itu, makna dari kata-kata “judi” yang disebutkan di atas mungkin juga memperlihatkan bahwa air bah itu mencapai ketinggian tertentu, tetapi tidak mencapai ketinggian puncak gunung. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa yang paling memungkinkan adalah bahwa banjir itu tidak menenggelamkan seluruh bumi dan seluruh gunung sebagaimana digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya menggenangi wilayah tertentu saja.

Lokasi Banjir Nuh

Daratan Mesopotamia diduga kuat sebagai lokasi di mana banjir masa Nabi Nuh terjadi. Wilayah ini diketahui sebagai tempat bagi peradaban tertua dalam sejarah. Lagi pula, dengan posisinya yang berada di antara sungai Tigris dan Eufrat, tempat ini sangat memungkinkan untuk terjadinya sebuah banjir yang besar. Di antara fakor penyebab terjadinya banjir kemungkinan adalah bahwa kedua sungai ini airnya meluap dan membanjiri wilayah tersebut.
Alasan kedua mengapa daerah tersebut diduga kuat sebagai tempat terjadinya banjir adalah bukti-bukti historis. Dalam rekamana sejarah berbagai peradaban manusia yang pernah menempati lokasi tersebut, banyak dokumen yang ditemukan telah merujuk pada pernah terjadinya sebuah banjir, dan banjir itu dalam dokumen tersebut disebutkan terjadi dalam sebuah pereode masa yang sama. Setelah menyaksikan pembinasaan kaum Nabi Nuh, peradaban-peradaban tersebut agaknya merasa perlu untuk merekam dalam sejarah mereka, bagaimana banjir itu terjadi, serta bagaimana juga akibat-akibat yang ditimbulkan oleh banjir tersebut. Telah diketahui pula, bahwa mayoritas legenda-legenda yang menceritakan banjir tersebut berasal dari Mesopotamia juga. Yang juga lebih penting bagi kita adalah temuan-temuan arkeologis. Temuan ini memperlihatkan bahwa sebuah banjir besar pernah terjadi di wilayah ini. Sebagaimana yang akan kami bahas secara detail pada halaman-halaman berikutnya, banjir ini telah menyebabkan tertundanya mata rantai perkembangan peradaban untuk selama jangka waktu tertentu. Dalam penggalian-penggalian yang dilakukan, nampak jejak-jejak dari bencana dahsyat tersingkap dari timbunan tanah.
Penggalian-penggalian yang dilakukan di wilayah Mesopotamia telah mengungkap, bahwa berkali-kali dalam sejarah, wilayah ini menderita berbagai macam bencana sebagai akibat dari berkali-kali banjir dan meluapnya Sungai Eufrat dan Tigris. Sebagai misal, pada millenium kedua Sebelum Masehi (SM), pada masa Ibbi-sin, penguasa dari bangsa Ur yang besar, yang berlokasi di sebelah selatan Mesopotamia, sebuah tahun tertentu ditandai dengan “sesudah terjadinya sebuah banjir yang telah melenyapkan garis batas antara surga-surga dan bumi” . Di sekitar tahun 1700 Sebelum Masehi (SM), pada masa kekuasaan Hamurabi dari Babilonia, sebuah tahun dikenang sebagai sebuah masa dimana terjadi di dalamnya insiden “ hujan di kota Eshnunna yang disertai dengan banjir”.
Pada abad ke 10 SM, pada masa pemerintahan Nabu-mukin-apal, sebuah banjir terjadi di kota Babilon. Setelah masa kehidupan Isa (Jesus) pada abad ke 7, 8, 10, 11, dan 12, banjir-banjir yang dinilai bersejarah (penting) terjadi dalam wilayah tersebut. Dalam abad ke 20, kejadian yang sama terjadi pada tahun 1925, 1930, dan 1954. Jelaslah sudah, bahwa wilayah ini telah menjadi obyek bagi terjadinya bencana banjir, dan sebagaimana ditunjukkan dalam al-Qur’an, bahwa rupa-rupanya sebuah banjir yang massif telah menghancurkan dan membinasakan sebuah komunitas manusia secara keseluruhan.

Bukti-Bukti Arkeologis tentang Banjir

Bukanlah suatu hal yang kebetulan bila masa sekarang ini kita sedang mengungkap jejak-jejak dari mayoritas komunitas manusia yang oleh al-Qur’an dikatakan telah dibinasakan. Bukti-bukti arkeologis menyajikan fakta, bahwa semakin mendadak kehancuran sebuah komunitas terjadi, semakin memungkinkan bagi kita untuk melacak jejak-jejaknya.
Dalam kasus apabila sebuah peradaban hancur secara tiba-tiba, yang ini bisa saja terjadi karena bencana alam, perpindahan tempat (migrasi) yang mendadak, atau karena perang, jejak-jejak peradaban sering bisa lebih terpelihara. Rumah-rumah yang mereka huni, peralatan-peralatan yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak lama kemudian akan terkubur di bawah bumi. Jadi, jejak-jejak peninggalan mereka itu bisa terpelihara dalam waktu yang lama dan tidak tersentuh oleh manusia, dan itu semua merupakan bukti yang penting tentang sejarah masa lampau bila diungkapkan pada saat sekarang.
Inilah masalah besar sehubungan dengan bukti tentang Banjir masa Nabi Nuh yang telah diungkap pada saat ini. Walaupun peristiwa penghancuran kaum Bani Nuh itu telah terjadi sekitar millenium ketiga sebelum Masehi (SM), banjir itu telah mengakhiri seluruh peradaban untuk jangka waktu tertentu, dan kemudian, menyebabkan lahirnya lagi sebuah peradaban yang baru di daerah tersebut. Jadi, bukti-bukti yang muncul tentang banjir ini telah terpelihara selama ribuan tahun agar kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Usaha-usaha penggalian telah dilakukan dalam rangka menginvestigasi peristiwa banjir yang telah menenggelamkan daratan-daratan di wilayah Mesopotamia. Dalam penggalian-penggalian yang dilakukan di wilayah tersebut, di empat kota utama ditemukan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah banjir yang besar. Kota-kota tersebut adalah kota-kota penting di Mesopotamia; Ur, Erech, Kish, dan Shuruppak.
Penggalian-penggalian yang dilakukan di kota-kota ini telah mengungkap bahwa semua dari empat kota ini telah dilanda sebuah banjir pada sekitar millenium ketiga Sebelum Masehi.
Pertama, mari kita lihat penggalian-penggalian yang dilakukan di Kota Ur.
Sisa-sisa tertua dari sebuah peradaban yang tersingkap dari penggalian di kota Ur, yang telah diganti namanya menjadi “Tell al Muqayyar” pada masa sekarang ini, menunjuk pada suatu masa 7000 tahun SM. Sebagai sebuah situs yang pernah menjadi lokasi bagi peradaban-peradaban tertua, kota Ur telah menjadi sebuah wilayah hunian di mana berbagai kebudayaan tampil silih berganti.
Temuan arkeologis dari kota Ur memperlihatkan bahwa di sinilah peradaban telah pernah terputus setelah terjadinya sebuah banjir dahsyat, dan kemudian, peradaban-peradaban baru tampil. R.H. Hall dari British Museum melakukan penggalian yang pertama di tempat ini. Leonard Woolley yang melakukan penggalian meneruskan setelah Hall, yang juga menjadi supervisor (pengawas/pembimbing) penggalian yang secara kolektif diorganisir oleh the British Museum dan University of Pensilvania. Penggalian-penggalian yang dilakukan oleh Woolley, yang telah memberikan pengaruh besar di seluruh dunia, berlangsung dari 1922 sampai 1934.
Penggalian yang dilakukan Sir Woolley mengambil lokasi di tengah-tengah padang pasir antara Baghdad dan Teluk Persi. Pendiri pertama kota Ur adalah orang-orang yang datang dari Mesopotamia Utara dan mereka menyebut diri mereka dengan “Ubaidian”. Pada awalnya, penggalian itu dilakukan untuk menghimpun informasi berkenaan dengan orang-orang tersebut. Penggalian yang dilakukan Woolley digambarkan oleh seorang arkeolog Jerman, Werner Keller, sebagai berikut:
“Kuburan Raja-Raja Ur”- begitu ungkap Woolley dalam kegembiraan besar tatkala menemukan, telah membubuhkan lubang kuburan bagi kejayaan Sumeria, yang kehebatan kekuasaannya telah tersingkap saat skop/cangkul para arkeolog mengenai sebuah tanggul sepanjang 50 kaki di sebelah selatan candi dan ditemukan sebuah deretan panjang dari pekuburan yang sangat menarik. Kubah/kolong batu yang ditemukan benar-benar merupakan peti-peti harta yang berharga, yang dipenuhi dengan piala-piala yang mahal, kendi-kendi dan vas-vas yang dibentuk secara menakjubkan, barang becah belah terbuat dari perunggu, kepingan-kepingan mutiara, lapis lazuli, dan perak yang mengelilingi tubuh-tubuh tersebut, yang telah terbentuk menjadi debu/abu. Barang-barang semacam kecapi dan lyre disandarkan di dinding-dinding. “Hampir hanya dalam sekali” dia kemudian menulis dalam buku hariannya, “penemuan-penemuan dihasilkan yang telah memberikan ketegasan tentang kecurigaan-kecurigaan kami. Tepat di bawah lantai dari salah satu lubang kubur para raja kami menemukan sebuah lapisan abu berbagai tablet tanah liat, yang tertutupi oleh huruf-huruf yang jauh lebih tua dibandingkan dengan prasasti di atas kuburan. Dengan mendasarkan pada sifat dari tulisan yang ada, tablet-tablet tersebut bisa diduga dibuat pada sekitar tahun 3000 SM. Berarti, itu dua atau tiga abad lebih awal dari lubang kuburan tersebut.”
Terowongan/lubang itu ternyata masih bisa dirunut lebih dalam. Tingkatan yang baru, dengan pecarhan-pecahan kendi, pot dan mangkuk masih tetap nampak terjaga. Para ahli (ilmuwan) memperhatikan bahwa barang-barang tembikar itu masih cukup mengejutkan karena tetap tidak berubah. Benar-benar nampak seperti yang telah ditemukan di pekuburan para raja. Karena itulah, nampaknya selama beberapa abad peradaban Sumeria tidak mengalami perubahan yang radikal. Mereka tentulah, menurut kesimpulan yang bisa ditarik, telah mencapai tingak perkembangan yang tinggi yang menakjubkan pada awal peradaban mereka.
Setelah beberapa hari penggalian dilakukan, beberapa pekerja Woolley berteriak kepadanya, “Kita telah sampai paga lapisan dasar (ground)”, dia kemudian turun sendiri menuju lantai lubang galian agar bisa puas menyaksikan. Semula, pikiran Woolley adalah bahwa “Ini adalah penggalian yang terakhir”. Wujudnya adalah pasir, pasir murni yang hanya bisa dikandung oleh air.
Mereka memutuskan untuk menggali lapisan tersebut dan membuat lubang lebih dalam lagi. Semakin dalam, semakin dalam menuju dasar: tiga kaki, enam kaki -- masih penuh lumpur. Tiba-tiba, pada kedalaman sepuluh kaki, lapisan lumpur terhenti tiba-tiba. Di bawah deposit tanah liat ini sekitar sepuluh kaki tebalnya, mereka menemukan bukti-bukti baru dari hunian manusia. Wujud dan kualitas dari tembikar telah jelas berubah. Di sini, barang-barang itu adalah bikinan tangan. Besi belum juga ditemukan di sini. Peralatan primitif yang nampak adalah peralatan yang terbuat dari tebangan batu api. Ini mesti terjadi pada masa Zaman Batu!.
Banjir. Itulah penjelasan yang paling mungkin bagi deposit yang tanah liat yang besar di bawah bukit di kota Ur, yang secara cukup jelas telah memisahkan dua zaman kehidupan. Samudera telah meninggalkan jejak-jejak yang tidak terpungkiri dalam bentuk sisa-sisa organisme laut yang terlekat/tersimpan dalam lumpur.
Analisa dengan mikroskop mengungkapkan bahwa deposit tanah liat di depan bukit di kote Ur telah terkumpul disebabkan oleh banjir yang begitu besar yang telah meludeskan peradaban Sumeria kuno. Epik tentang Gilgamesh dan cerita tentang Nuh tersatukan dengan lubang galian yang dalam di bawah gurun Mesopotamia.
Max Mallowan menghubungkan pikiran-pikiran Leonard Woolley , yang menyatakan bahwa endapan massif yang besar itu terbentuk dalam satu waktu tertentu yang hanya bisa terjadi dikarenakan bencana banjir yang sangat besar. Woolley juga menggambarkan tentang permukaan banjir yang telah memisahkan kota di Sumeria, kota Ur dengan kota Al-Ubaid yang penduduknya biasa bekerja mengecat barang tembikar, sebagaimana yang masih tersisa dari peristiwa banjir tersebut.
Ini semua menunjukkan bahwa kota Ur adalah salah satu dari berbagai daerah yang terkena banjir. Werener Keller mengekspressikan arti penting dari penggalian yang telah disebutkan di atas dengan menyatakan bahwa hasil dari sisa-sisa kota di bawah lapisan tanah lumpur dalam penggalian arkeologis di Mesopotamia membuktikan bahwa dahulu kala pernah terjadi banjir di tempat ini.
Kota lain yang masih menyimpan jejak-jejak dari banjir Nuh adalah kota Kish di Sumeria, yang saat ini dikenal dengan nama “Tall al-Uhaimer”. Menurut sumber-sumber Sumeria kuno, kota ini merupakan tempat kedudukan “tahta dari dinasi ‘postdiluvian’ yang pertama”.
Kota Shurrupak di sebelah selatan Mesopotamia , yang saat ini diberi nama dengan “Tall Far’ah”, demikian juga, menyimpan jejak-jejak yang masih terlihat dari peristiwa banjir tersebut. Studi arkeologis yang dilakukan di kota ini dipimpin oleh Erich Schmidt dari the University of Pensilvania antara tahun 1922-1930. Penggalian-penggalian yang dilakukan mengungkapkan adanya tiga lapisan yang pernah dihuni oleh manusia dalam rentang waktu sejak masa pra sejarah hingga dinasti Ur ketiga (2112-2004 SM). Temuan yang paling istimewa adalah reruntuhan dari sebuah bangunan rumah-rumah yang bagus sepanjang tablet (belahan-belahan batu/prasasti) tulisan-tulisan kuno berbentuk baji (cuneiform) dari simpanan administrasi dan daftar-daftar kata, mengindikasikan adanya sebuah masyarakat yang telah berkembang maju hingga akhir millenium keempat Sebelum Masehi.
Masalah terpenting adalah bahwa sebuah banjir besar telah bisa dipahami dengan jelas terjadi di kota ini pada sekitar 2900-3000 SM. Menurut perhitungan yang dilakukan Mallowan, 4-5 meter di bawah tanah, Schmidt telah mencapai lapisan tanah kuning (yang dibentuk oleh banjir) yang terbentuk dari sebuah campuran antara tanah liat dan pasir. Lapisan ini lebih dekat ke dataran daripada profil tumulus dan bisa diamati seluruhnya di seputar tumulus…. Schmidt mendefinisikan bahwa lapisan ini terbentuk dari campuran tanah liat dan pasir, yang masih tersisa sejak masa Kerajaan Kuno Cemdet Nasr, sebagai “sebuah pasir yang masih dengan keasliannya di dalam sungai” dan ini diasosiasikan dengan Banjir Nuh.
Di dalam penggalian yang dilakukan di kota Shuruppak, sisa-sisa sebuah banjir bisa ditemukan yang masih berhubungan dengan kurang lebih tahun 2900-3000 SM. Mungkin, kota Shuruppak terkena imbas dari banjir sebebesar imbas yang diderita kota-kota lain.
Tempat (kota) yang terakhir yang terkena banjir adalah kota Erech hingga sebelah selatan kota Shuruppak yang saat ini dikenal dengan nama “Tall al-Warka”. Di kota ini, sebagaimana di kota-kota yang lainnya, lapisan sebuah banjir juga nampak. Lapisan ini merujuk pada masa 2900-3000 SM sebagaimana yang lain.
Sebagaimana diketahui dengan baik, sungai Eufrat dan Tigris memotong menyeberangi Mesopotamia dari ujung satu ke ujung yang lain. Nampaknya bahwa selama masa itu, dua sungai ini dan disertai banyak sumber mata air, besar maupun kecil, meluap, dan, dengan bersatunya dengan air hujan, telah menyebabkan sebuah banjir yang dahsyat. Peristiwa itu digambarkan dalam al-Qur’an:

Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah (11). Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan (12). (QS. Al-Qamar: 11-12).

Ketika faktor-faktor yang menyebabkan banjir itu dibahas satu persatu, nampaklah bahwa kesemuanya itu merupakan fenomena yang sangat alami. Adapun yang menjadikan peristiwa itu penuh mukjizat adalah karena kejadiannya pada saat yang bersamaan dengan peringatan Nabi Nuh kepada kaumnya tentang akan datangnya bencana semacam itu sebelumnya.
Pengujian terhdap bukti yang didapat dari studi yang komplet mengungkapkan bahwa daerah banjir membentang sekitar 160 km (lebar) dari timur sampai barat, dan 600 km (panjang) dari utara sampai selatan. Ini menunjukkan bahwa banjir tersebut menutupi seluruh daratan-daratan di Mesopotamia. Ketika kita membahas urut-urutan kota Ur, Erech, Shuruppak dan Kish yang menyembulkan jejak-jejak banjir Nuh, kita melihat bahwa kota-kota ini berada dalam satu garis sepanjang rute tersebut. Karena itulah, banjir tersebut pastilah telah mengenai keempat kota ini dan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu, harus dicatat bahwa pada sekitar 3000 tahun BC, struktur geografis dari daratan Mesopotamia berbeda dengan kondisi yang ada sekarang. Pasa masa tersebut, posisi sungai Eufrat terletak lebih ke timur dibandingkan dengan posisi sungai tersebut saat ini; garis arus sungai ini ternyata dulunya sama dengan garis yang melewati menembus kota Ur, Erech, Shuruppak dan Kish. Dengan terbukanya “mata air di bumi dan di surga”, agaknya sungai Eufrat meluap dan mengalir tersebar sehingga merusak empat kota yang disebut di atas.

Agama dan Kebudayaan yang Menceritakan Banjir Nabi Nuh

Peristiwa Banjir Nuh tersebut disebarluaskan ke hampir semua manusia (kaum) lewat lesan para Nabi yang menyampaikan Agama yang Benar, tetapi akhirnya cerita itu menjadi legenda-legenda berbagai kaum-kaum itu, dan kisah itu mengalami penambahan-penambahan dan juga pengurangan-pengurangan dalam periwayatannya.

Allah telah menyampaikan kisah tentang Banjir Nuh kepada manusia melalui para rasul dan kitab-kitab yang Dia turunkan kepada berbagai masyarakat agar hal itu menjadi peringatan atau permisalan. Dalam setiap masa teks atau kitab-kitab tersebut telah dirubah dari aslinya, dan penuturan tentang banjir Nuh itu juga telah ditambah-tambahai dengan unsur-unsur yang mistis. Hanyalah al-Qur’an lah sumber yang masih memiliki kesamaan yang mendasar dengan temuan-temuan dan observasi empiris. Hal ini hanya tidak lain karena Allah menjaga al-Qur’an dari perubahan, meski hanya sebuah perubahan kecil sekalipun, dan Dia tidak mengizinkan al-Qur’an itu terkurangi. Menurut padangan al-Qur’an berikut ini “Kami telah dengan tanpa keraguan menurunkan risalah, dan Kami dengan pasti akan menjaganya (dari pengurangan)”(QS.Al-Hijr: 9), al-Qur’an berada di bawah pengawasan khusus Allah.
Dalam bagian terakhir dari bab ini yang berkaitan dengan banjir, kita akan melihat, bagaimana insiden banjir itu diilustrasikan –meski telah terjadi manipulasi/pengurangan – dalam berbagai kebudayaan dan di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Banjir Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama

Kitab yang sebenarnya diwahyukan kepada nabi Musa adalah Taurat. Hampir semua sisa-sisa wahyu dan buku-buku yang berkaitan dengan Injil “Pentateuch (lima buku pertama dari Kitab perjanjian Lama)”, seiring dengan berjalannya waktu, telah lama kehilangan hubungannya dengan wahyu yang asli. Bahkan, kemudian bagian yang paling meragukan tersebut telah diubah oleh para rabi (pendeta) dari masyarakat Yahudi. Sama halnya dengan wahyu-wahyu yang dikirimkan kepada nabi-nabi lain yang diutus kepada Bani Israel setelah nabi Musa, juga mendapat perlakuan yang sama dan mengalami perubahan yang luar biasa. Inilah sebab yang menjadikan kita untuk menyebut buku-buku itu sebagai “Pentateuch yang telah dirubah (Altered Pentateuch)” dikarenakan telah kehilangan hubungannya dengan aslinya, membawa kita untuk menganggapnya lebih hanya sebagai bikinan manusia semata yang berupaya untuk mencatat sejarah suku bangsanya daripada menganggapnya sebagai sebuah kitab suci. Tidaklah mengherankan jika ciri-ciri dari Pentateuch yang telah dirubah itu dan berbagai kontradiksi yang terkandung didalamnya bisa dengan mudah terungkap dalam pemaparannya terhadap cerita tentang nabi Nuh meskipun mempunyai berbagai kesaman dalam sebagian yang diceritakan dengan al-Qur’an.
Menurut Perjanjian Lama, Tuhan memerintahkan kepada Nuh bahwa semua orang kecual para pengikutnya akan dihancurkan karena bumi telah penuh dengan berbagai macam tindak kekerasan. Dan akhirnya Tuhan memerintahkan mereka untuk membuat sebuah Perahu dan menyebutkan secara detail bagaimana cara mengerjakannya. Tuhan juga mengatakan kepadanya (Musa) untuk membawa keluarganya, tiga orang anaknya, istri-istri anaknya, dua (sepasang) dari setiap mahkluk hidup dan berbagai persedian bahan pangan.
Tujuh hari kemudian, ketika waktu banjir telah tiba, semua sumber yang ada di dalam tanah mendadak terbuka lebar, pintu-pintu surga terbuka dan sebuah banjir besar menenggelamkan semuanya. Hal ini berlangsung selama empat puluh hari dan empat puluh malam. Kapal yang dtumpangi Nuh beserta pengikutnya berlayar diatas air yang menutupi semua pegunungan dan dataran tinggi. Mereka yang berada di dalam kapal bersama Nuh diselamatkan dan mereka yang tidak ikut ke dalam kapal dan terbawa oleh air bah tersebut ditenggelamkan hingga mati. Hujan berhenti setelah banjir terjadi, yang terjadi selama 40 hari 40 malam, dan airpun mulai surut 150 hari kemudian.
Setelah berada pada hari ke tujuh belas dari bulan ke tujuh, kapal tersebut berhenti di gunung Ararat (Agri). Nuh memerintahkan seekor merpati untuk melihat apakah air telah benar-benar surut atau tidak, dan ketika akhirnya merpati tersebut tidak kembali lagi, ia menyadari bahwa air telah benar-benar surut. Tuhan memerintahkannya untuk keluar dari kapal dan menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Salah satu kontradiksi yang terdapat dalam kisah yang terdapat dalam perjanjian Lama ini adalah; berdasarkan ringkasan ini, dalam versi tulisan yang “berbau Yahudi”, dikatakan bahwa Tuhan memerintahkan kepda Nuh untuk membawaa tujuh dari binatang-binatang tersebut, jantan dan betina, Ia (Tuhan) menyebut-Nya ”clean(halal)” dan hanya pasangan-pasangan binaang-binaang tersebut Ia sebut “unclean(haram)”. Hal ini bertentangan dengan teks dibawah ini. Disamping itu dalam Perjanjian Lama, jangka waktu terjadinya banjir juga berbeda. Menurut versi yang berbau Yahudi itu, peristiwa naiknya air akibat banjir terjadi selama 40 hari, sedangkan berdasarkan pendapat orang-orang awam, dikatakan terjadinya selama 150.
Sebagian dari Perjanjian Lama yang menceritakan tentang banjir Nuh mengatakan ; Dan Tuhan berkata kepada Nuh, akhir dari semua jasad manusia adalah menghadap kepadaKu; dan karena bumi telah penuh dengan kekerasan; maka lihatlah Aku akan menghancurkan mereka bersama dengan bumi. Maka kamu buatlah perahu dari kayu gopher;…..
..Dan, lihatlah meskipun Aku memberikan banjir yang membanjiri seluruh bumi untuk menghancurkan semua manusia, dimana semua yang bernafas, dari bawah surga; (dan)setiap yang ada dibumi akan mati. Namun bersamamu Aku akan menetapkan janjiKu; dan kamu akan masuk ke dalam perahu, kau dan anakmu, dan istrimu, dan istri-istri anak-anak mu. Dan semua mahkluk hidup, dua (sepasang) dari setiap mahkluk kamu bawa ke dalam perahu, untuk tetap menjaga mereka hidup bersamamu; mereka haruslah jantan dan betina…

…demikianlah yang dilakukan Nuh; berdasrkan semua yang Tuhan perintahkan kepadanya. (Genesis 6:13-22).

Dan perahupun berhenti pada bulan ke tujuh, pada hari ke tujuhbelas dari bulan tersebut di atas gunung Ararat. (Genesis 8:4).

Setiap binatang yang halal kamu bawa sebanyak tujuh ke dalam perahu jantan dan betinanya, dan biatang yang tidak halal kamu bawa sebanyak dua jantan dan betinanya, unggas juga kamu ambil dari udara sebanyak tujuh, jantan dan betinanya, untuk menjaga agar bebih tetap hidup diseluuh penjuru bumi (Genesia 7:2-3).

Dan Aku akn menepati janjiKu terhadapmu, dan semua orang-orang yang lain akan ditenggelamkan oleh air banjir, dan banjir akan lebih banyak lagi yang akan menghancurkan dunia (Genesis, 9:11).

Berdasarkan kepada Perjanjian Lama, berkenaan dengan keputusan yang menyatakan bahwa “semua mahkluk hidup yang ada di dunia akan mati” dalam sebuah banjir yang menggenagi seluruh permukaan bumi, maka semua orang dihukum, dan yang selamat hanyalah mereka yang berlayar dengan perahu bersama Nuh.


Banjir Nuh dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru yang kita miliki saat ini adalah bukan sebuah Kitab Suci dalam arti kata yang sebenarnya. Terdiri dari perkataan dan perbuatan dari ‘Isa (jesus), Pernanjian Baru dimulai dengan empat “Gospels (ajaran)” yang ditulis satu abad setelah kematian ‘Isa oleh orang-orang yang belum pernah melihatnya atau berteman dengan Isa; mereka (para penulis) ini bernama Matius, Markus, Lukas dan Johanes . Terdapat berbagai kontradiksi yang sangat gamblang diantara keempat gospel (ajaran) ini. Khususnya Gospel of John (Johanes) yang sangat memiliki banyak perbedaan dengan dari ketiga yang lain (Synoptic Gospel), meski dalam beberapa tingkat tertentu memiliki kesamaan. Buku-buku lain dari Perjanjian Baru terdiri dari surat-surat yang ditulis oleh Apostle (utusan/rasul) dan Saul dari Tarsus ( yang kemudian disebut dengan Saint Paul) menyebutkan perbuataan setelah kematian Isa.
Namun demikian Perjanjian Baru yang terdapat saat ini bukan lagi merupakan sebuah naskah suci namun lebih merupakan sebuah buku semi-sejarah semata.
Dalam Perjanjian Baru, banjir Nuh disebutkan secara singkat sebagai berikut; Nuh diutus sebagai seorang pembawa pesan kepada sebuah masyarakat yang tidak patuh dan tersesat, namun kaumnya tidak mau mengikutinya dn meneruskan penyimpangan mereka, kemudian Allah menimpakan kepada mereka yang menolak keimanan dengan sebuah peristiwa banjir dan menyelamatkan Nuh dan para pengikutnya dengan menempatkan mereka ke dalam perahu. Beberapa bab dri perjanjian Baru yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut;

Tetapi, pada masa Nabi Nuh, dan juga kedatangan seorang anak laki-laki. Dan pada hari-hari di mana mereka sebelum datangnya banjir, mereka makan dan minum, mereka menikah dan saling memberi dalam pernikahan itu, hingga datanglah suatu waktu ketika Nuh masuk ke dalam perahu, dan mengertilah dia tidak lebih hingga datangnya banjir, dan dia membawa mereka semua menjauh, demikian juga dengan datangnya seorang anak lelaki itu. (Matius, 24:37-39).

Dan terpisah, bukan di bumi yang telah tua, tetapi selamatlah Nuh sebagai orang yang ke delapan, seorang penyeru kesalehan, membawa dalam banjir ke atas dunia yang tidak taat pada Tuhan. (Peter kedua,2: 5)

Dan sebagaimana pada hari-hari masa Nuh, dan seharusnya juga juga pada masa seorang anak laki-laki. Mereka makan, minum, menikahi isteri, mereka saling diberi dalam perkawinan, hingga datanglah suatu hari ketika Nuh memasuki perahu, dan banjir datang, dan menghancurkan mereka semua. (Lukas, 17: 26-27).

Di saat mereka itu ingkar (tidak mentaati), ketika suatu masa Tuhan lama menderita menunggu di masa Nuh, sembari perahu dipersiapkan, dalam jumlah beberapa, delapan jiwa diselamatkan oleh air. (Peter pertama, 3:20).

Dikarenakan mereka mengabaikan, bahwa dengan kata Tuhan surga-surga menjadi tua, dan bumi mempertahankan air dan berada di dalam air: Di mana bumi kemudian, diluapi dengan banjir, dibinasakan. (Peter kedua,3:5-6).

Peristiwa Terjadinya Banjir dalam Kebudayaan Lain
Dalam Kebudayaan Sumeria
Tuhan/ Dewa yang bernama Enlil berkata kepada suatu kaum bahwa tuhan yang lain ingin menghancurkan umat manusia, namun ia sendiri berkenan untuk meyelamatkan mereka. Pahlawan dalam kisah ini adalah Ziusudra, raja yang taat kepada raja negeri Sippur. Tuhan Enlil menyuruh Ziusudra apa yang harus dilakukan untuk bisa selamat dari banjir. Naskah yang berkaitan dengan pembuatan kapal tersebut telah hilang, namun fakta bahwa bagian ini pernah ada, diungkapkan dalam bagian yang menyebutkan bagaimana Ziusudra diselamatkan. Berdasarkan versi bangsa Babylonia tentang banjir, bisa disimpulkan bahwa dalam versi bangsa Sumeria pun, tentulah terdapat perincian yang lebih luas secara utuh tentang kejadian tersebut, tentang sebab-sebab terjadinya banjir dan bagaimana perahu tersebut dibuat.

Dalam Kebudayaan Babilonia

Ut-Napishtim adalah persamaan tokoh bangsa Babilonia terhadap pahlawan dalam peristiwa banjir dalam kisah bangsa Sumeria yaitu Ziusudra. Tokoh penting yang lain adalah Gilgamesh. Menurut legenda, Gilgamesh memutuskan untuk mencari dan menemukan para leluhurnya untuk mengupayakan rahasia kehidupan yang abadi. Ia melakukan sebuah perjalanan yang menentang bahaya dan pebuh dengan kesulitan. Ia diperintahkan supaya melakukan sebuah perjalan dimana ia harus melewati “Gunung Mashu dan air kematian” dan sebuah perjalanan yang hanya dapat diselesaikan oleh seorang anak tuhan bernama Shamash. Namun Gilgamesh tetap dengan gagah berani melawan semua bahaya selama perjalanan dan akhirnya berhasil mencapai Ut-Napishtim.
Naskah ini dipotong/selesai pada titik dimana terjadi pertemuan antara Guilgamesh dan Ut-Napishtim, dan ketika akhirnya menjadi jelas, Ut-Napishtim bekata kepada Gilgamesh bahwa “para tuhan hanya menyimpan rahsia kematiandan kehidupam untuk diri mereka sendiri” (yang mereka tidak akan memberikannya kepada manusia). Atas jawaban ini Gilgamesh bertanya kepada Ut-Napishtim bagaimana ia dapat memperoleh keabadian; dan Ut-Napishtim menceritakan kepadanya kisah tentang banjir sebagai jawaban atas pertanyaannya. Banjir tersebut juga diceritakan dalam kisah “duabelas meja (twelve tables) “ yang terkenal dalam epik tentang Gilgamesh.
Ut-Napishtim memulainya dengan mengatakan bahwa kisah yang akan diceritakan kepada Gilgamesh adalah merupakan“sesuatu yang rahasia, sebuah rahasia dari tuhan”. Ia berkata bahwa ia dari kora Shuruppak, kota tertua diantara kota-kota di daratan Akkad. Berdasarkan ceritanya, tuhan “Ea” telah menyerukan kepaanya melalui tembok gubuknya dan mengumumkan bahwa tuhan-tuhan telah memutuskan untuk menghancurkan semua benih kehidupan dengan perantaraan sebuah banjir; namun alasan tentang keputusan mereka tidaklah diterangkan dalam cerita banjir bangsa Babylonia sebagaimana telah diterangkan dalam kisah banjir bangsa Sumeria. Ut-Napishtim berkata bahwa Ea telah menyuruhnya untuk membuat sebuah perahu dimana ia harus membawa serta dan membwa “benih-benih dari semua makhluk hidup”. Ea memberitahukan kepadanya tentang ukuran dan bentuk dari kapal tersebut, berdasarkan hal ini, lebar, panjng dan ketinggian dari kapal sama satu sama dengan yang lain. Badai besar menjungkirbalikan semuanya dalam waktu enam hari dan enam malam. Pada hari yang ke tujuh, badai mulai reda. Ut-Napishtim melihat bahwa diluar kapal, “telah berubah menjadi Lumpur yang lengket’. Dan sang kapalpun berhenti di gunung Nisir.
Menurut catatan bangsa Sumeria dan Babylonia, Xisuthros atau Khasisatra diselamatkan dari banjir oleh sebuah kapal dengan panjang 925 meter, bersama dengan keluarga dan teman-temannya dan bersama burung-burung dan berbagai jenis binatang. Hal ini dikatkan bahwa “air terbentang menuju ke surga, lautan menutupi pantai dan sungai meluap dari dasar sungai”. Dan kapalpun akhirnya berhenti di gunung Corydaean.
Menurut cattan bangsa Babilonia-Syria, Ubar Tutu atau Khasisatra diselamatkan bersama dengan keluarga dan pembantunya, umatnya dan binatang-binatang dalam sebuah kapal dengan lebar 600 cubits (ukuran panjang), tinggi dan lebarnya 60 cubit. Banjir tersebut berlangsung selama 6 hari dan 6 malam. Ketika kapal tersebut menapai gunung Nizar, merpati yang dilepaskan kembali ke kapal sedangkan burung gagak yang sama-sama dilepaskan tidak kembali.
Berdasarkan beberapa catatan bangsa Sumeria, Asyiria dan Babylonia, Ut-Napishtim bersama dengan keluarganya selamat dari banjir yang terjadi selama 6 hari dan 6 malam. Hal ini dikatakan “ Pada hari ke tujuh Ut-napishtim melihat keluar. Ternyata sangatlah sepi. Orang telah berubah menjadi Lumpur”. Ketika kapal berhenti di gunung Nizar, Ut-napishtim menerbangkan seekor burung merpati, seekor ggak dan seekor buurng pipit. Burung gagak tinggal untuk memakan bangkai, sedangkan dua burung yang lain tidak kembali.

Dalam Kebudayaan India

Dalam epic dari India berjudul Shatapata Brahmana dan Mahabharata, seseorang yang disebut dengan Manu diselamatkan dari banjir bersama dengan Rishiz. Menurut legenda , seekor ikan yang ditangkap oleh Manu dan ikan tersebut diselamatkannya, tiba-tiba berubah menjadi besar dan mengatakan kepadanya untuk membuat sebuah perahu dan mengikatkan ke tanduknya. Ikan ini dilambangkan sebagai pengejawantahan dari dewa Wisnu. Ikan tersebut menuntun kapal mengarungi ombak yang besar dan membawanya ke utara ke gunung Hismavat.

Dalam Kebudayaan Wales
Menurut legenda Welsh (dari Wales, dari Celtic di Inggris), dikatakan bahwa Dwynwen dan Dwfach selamat dari bencana yang besar dengan sebuah kapal. Ketika banjir yang amat mengerikan yang terjadi dari meluapnya Llynllion yang disebut dengan Danau Gelombang. Setelah selamat akhirnya mereka berdua mulai menghuni kembali daratan Inggris.

Dalam Kebudayaan Scandinavia

Legenda Nordic Edda melaporkan tentang Bergalmir dan istriya selamat dari banjir dengan sebuah kapal yang besar.

Dalam Kebudayaan Lithuania

Dalam legenda Lithuania, diceritakan bahwa beberapa pasang manusia dan binatang diselamatkan dengan berlindung di puncak permukaan gunung yang tinggi. Ketika angin dan banjir yang berlangsung sela dua hari dan dua belas malam tersebut mulai mencapai ketinggian gunung yang hampir akan menenggelamkan yang ada diatas puncak gunung tersebut, sang Pencipta melemparkan sebuah kulit kacang raksasa kepada mereka. Sehingga mereka yang ada di gunung tersebut diselamatkan dari bencana dengan berlayar didalam kulit kacang raksasa ini.

Dalam Kebudayaan China

Sumber di bangsa China menghubungkan cerita ini dengan seseorang yang dipanngil denangan nama Yao bersama dengan tujuh orang lain atau Fa li bersama dengan istri dan anak-anaknya, diselamatkan dari bencana banjir dan gempa bumi dalam sebuah perahu layar. Disini dikatakan “dunia semuanya berada dalam kehancuran. Air menyembur dan menutupi semua tempat”. Akhirnya, airpun surut.

Banjir Nuh dalam Mitologi Yunani

Dewa Zeus memutuskan untuk menghancurkan orang-orang yang telah menjadi semakin bertindak sesat setiap saat, dengan sebuah banjir. Hanya Deucalion dan istrinya Pyrrha yang diselamatkan dari banjir, karena ayah Deucalion sebelumnya telah menyarankan anaknya untuk membuat sebuah kapal. Pasangan ini turun ke gunung Parnassis pada hari ke sembilan setelah turun dari kapal.
Semua legenda ini mengindikasikan sebuah realitas sejarah yang konkret. Dalam sejarah setiap masyarakat/kaum menerima pesan dan risalah, setiap insan menerima wahyu Suci, sehinga banyak kaum yang telah belajar tentang Banjir. Sayangnya, sebagaimana kaum-kaum yang berpaling dari inti wahyu Suci, peristiwa banjir besar itupun mengalami banyak perubahan dan menjadi bermacam legenda dan mitos.
Satu-satunya sumber dimana kita dapat menemukan kisah sejati tentang Nuh dan kaum yang menolaknya adalah di dalam Al Qur’an, yang merupakan satu-satunya sumber yang belum (dan tidak akan) mengalami perubahan sebahai Wahyu suci.
Al Qur’an menyediakan bagi kita keterangan yang benar tidak hanya tentang banjir Nuh namun juga tentang kaum dan peristiwa sejarah lainnya, dalam bab-bab berikut kita akan melihat kembali kisah-kisah sejati ini.

Sumber : HARUN YAHYA
(Kaum - Kaum Yang Dimusnahkan )

ISI HATI


Di langit kutitipkan resahku ini
Di kata kuberharap
Mampu menghalau segala rasa gundah dihatiku





Karena kau telah bakar api
Tanpa kusadari, ooh, di jiwaku

Akan kurangkai semua
Kata cinta yang ada di bumi ini
Jadikan seikat kembang
Agar kau tahu semua isi hati

Semoga 'kan kau terima
Hasratku yang tulus untukmu
Dan janganlah kau biarkan
Harapan ditelan waktu

Karena kau telah bakar api
Tanpa kusadari, ooh, di jiwaku

Akan kurangkai semua
Kata cinta yang ada di bumi ini
Jadikan seikat kembang
Agar kau tahu semua isi hati


(Hangky Supit)

DARAH JUANG


Disini, negeri kami, tempat padi terhampar
Samuderanya....kaya raya
Tanah kami subur Tuhan….
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat


Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji


Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami berbakti

MENJAUH DAN MENDEKAT


Bukankah...
Makhluk hidup memiliki kecenderungan,
Menjauhi sesuatu yang tidak disenangi,
Mendekati sesuatu yang disenangi dan enak,
Itu adalah ciri khas nafsu,
Membuat makhluk mendekati maupun menjauhi,
Tidak ada yang salah dengan itu,
Justru itu adalah benar,
Paling tidak mekanismenya memang seperti itu,
Kalau tidak memenuhi mekanisme seperti itu berarti tidak benar,
Tidak memenuhi kaidah alamiah,
Yang dipermasalahkan dalam agama bukanlah,
Ada tiadanya nafsu,
Namun, bagaimana mengarahkan nafsu itu sendiri,
Baik kecenderungan makhluk untuk mendekat maupun menjauh,
Tumbuhan memiliki daya pembeda mendekati sumber kehidupan,
Ia akan mendekati sumber cahaya dan mendekati sumber makanan,
Itulah yang disebut sebagai daya tarik terhadap apa yang dibutuhkan atau syahwah,
Namun belum bisa menjauh dari apapun yang membahayakan,
Kecuali beberapa jenis tumbuhan,
Yang memiliki karakter hewani,
Hewan memiliki daya pembeda menjauhi bahaya,
Ia akan menjauhi sumber bahaya dan mendekati tempat dimana bahaya itu tiada,
Itulah yang disebut sebagai daya tolak atau gadhab,
Namun belum bisa membedakan dengan pembeda tertinggi,
Kecuali beberapa jenis hewan yang tingkat intelegensinya tinggi,
Yang sedikit memiliki karakter mirip-mirip manusia,
Manusia memiliki daya pembeda lebih tinggi,
Ia dapat membedakan mana sumber bahaya dan mana yang bukan,
Ia dapat membedakan mana sumber kenikmatan dan bukan,
Itulah yang disebut sebagai daya intelektual atau akal,
Namun sering sekali belum bisa membedakan mana yang haq dan bathil,
Karena tingkat fakultasnya masih di nabati,
Maupun hewani,
Termasuk diri saya sendiri ini,
Keinginan manusia untuk memenuhi hasrat seksual,
Merupakan seuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu ingin berhubungan seksuil,
Ataukah dengan wanita pelacur,
Ataukah dengan wanita simpanan,
Ataukah dengan pegawainya,
Ataukah dengan pasangan syahnya,
Yang syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Keinginan manusia untuk menjauhi apa yang membahayakannya,
Meruapakn sesuatu hal yang benar, itu tidak salah,
Namun, dimanakah ia menempatkan kecenderungan itu untuk mempertahankan diri,
Apakah dengan memberontak terhadap tatanan yang telah ada,
Ataukah dengan memberontak terhadap tatanan negara,
Ataukah dengan memberontak terhadap aturan organiasi,
Ataukah dengan meletakkan diri dengan menjalankan tanggungjawab,
Tanggungjawab syah menurut hukum yurisprodensi maupun syah menurut ketentuan-Nya,
Tidak ada yang salah dengan penggunaan akal,
Pun menempatkan syahwah dan gadhab pada tempatnya,
Yang jadi permaalahan adalah, rukunnya atau kaidah-kaidahnya,
Bahkan dalam olah qolbu-pun harus menggunakan akal,
Karena akal adalah rukunnya,
Bagaimana bisa membedakan mana haq dan bathil apabila tidak dengan akal,
Itulah lobang keterjebakan ahli-ahli spiritual,
Mereka merasa tidak membutuhkan akal pembeda dalam berspiritual,
Jadi sering sekali Iblispun-pun dianggap malaikat,
Karena pada tingkatan yang lebih tinggi, Iblis pun bisa berwujud manusia ganteng,
Dan malaikatpun bisa berbentuk garang,
Pembeda, tarik dan tolak,
Pemahaman ini diperlukan,
Seiring dengan prosesi pembersihan hati,
Dalam tingkatan tertinggi spiritual,

Ma’rifat,
Hanya dapat diperoleh dengan kebersihan hati,
Namun tanpa akal,
Syaithan dan Malaikat pun sama,
Yang membedakan adalah,
Malaikat mengakui eksistensi manusia,
Sedang Iblis tidak,
Mengenal diri (eksistensi manusia),
Adalah mengenal Allah (eksistensi Tuhan),
Kalau Iblis menghindarkan manusia dari mengenal diri,
Sama pula menghindarkan manusia dari mengenal Tuhan,
Jadi, mengenal diripun harus menggunakan akal,
Namun akalpun harus ada rukunnya,
Dan akal yang terbaik adalah al-Furqon,
Al-Qur’anul Kariim,
Yang dibaca dengan hikmah,
Hikmah adalah ilmu,
Imu adalah knowledge,
Knowledge hanya diperoleh melalui laku atau doing,
Dengan hikmah,
Dalam hidup inilah kita belajar hikmah,
Hikmah mengenai inti,
Dualitas daya tarik dan tolak,
Manifetasinya dalam wujud kehidupan,
Nafsu itu harus ada,
Namun katanya harus dikekang,
Sebagaimana legenda empat kuda,
Yang menarik kereta,
Empat kuda,
Ammarah, Lawamah, Sufiyah, Muthmainnah
Keempatnya penting sekali,
Untuk menarik kereta kencana Sang Raja,
Siapa bilang nafsu itu tidak boleh,
Justru diperbolehkan, dan diharuskan ada,
Selama kita masih menarik nafas,
Namun bagaimana mengaitkan tali pada keempat nafsu itu,
Konon, inilah simbol dari ikat kepala tradisional Arab,
Untuk mengikat fikiran yang menjadi sarana liarnya keempat nafsu,
Begitu pula inilah simbolisasi dari ikat kepala udeng dalam khazanah tradisional Jawa,
Blangkon sebagai simbolisasi di kraton,
Hampir semua budaya yang dilewati Islam,
Memiliki terminologi akan ikat kepala,
Karena akal berada di kepala,
Bisa mengendalikan atau dikendalikan,
Tergantung dimana memposisikan,
Dikendalikan perut ataukah mengendalikan perut,
Dikendalikan selangkangan ataukah mengendalikan selangkangan,
Nafsu, rentan ditumpangi Iblis,
Nafsu yang tidak terkendali, bisa ditumpangi Iblis,
Nafsu itu bukan Iblis, tapi Iblis bisa menguasai nafsu,
Nafsu inilah yang membawa para pengusaha Arab,
Ziarah ke Puncak di Jawa Barat,
Keliru tempat dalam memasukkan benang ke dalam lobang jarum,
Tidak bisa membedakan mana selangkangan istri dan bukan,
Namun bisa membedakan mana yang bahenol dan mana yang bukan,
Menempatkan akal tidak pada tempatnya,
Sehingga meletakkan daya tarik pada yang bukan tempatnya,
Dan terdorong pada ketertarikan yang bukan pada tempatnya,
Lalu, apakah definisi “pada tempatnya”,
Tergantung anda sendirilah membedakan,
Bukankah hidup ini adalah pembelajaran,
Disinilah kita belajar untuk membedakan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan kekayaan,
Pun untuk menafikkan kemiskinan,
Hidup ini bukanlah tempat untuk menafikkan pangkat keduniawian,
Pun untuk mengejarnya tanpa reserve,
Namun bagaimana meletakkan pada proporsinya,
Itulah Pekerjaan Rumah kita semua,
Saat inilah, aku mulai belajar kembali,
Menyadari bahwasanya aku kemaren-kemaren belum bisa mengendalikan nafsu,
Terutama yang berhubungan dengan perut.
Marilah bersama-sama mengendalikan nafsu,
Sebelum nafsu ditumpangi oleh Iblis,
Nafsu yang ditumpangi oleh Iblis,
Akan membawa pada nafsu pemberontak,
Karena kebencian pada sesuatu yang diberontak,
Dan pemberontakan yang paling besar adalah memberontak terhadap Allah,
Namun, kalau kita jeli, apakah mungkin kita benar-benar memberontak terhadap Allah,
Berfikirlah dab, berfikir....

Minggu, 13 Desember 2009

MENJADI TELAGA ATAU SAMUDERA


Sungguh
Cinta mengubah
yang pahit menjadi manis
Debu beralih emas
Keruh menjadi bening
Sakit menjadi sembuh
Penjara menjadi telaga
Derita menjadi nikmat
Dan kemarahan menjadi rahmat
Cintalah yang melunakkan besi
Menghancur-leburkan batu karang
Membangkitkan yang mati
Dan meniupkan kehidupan padanya
Serta membuat budak menjadi pemimpin

(Jalaluddin Rumi)



Dalam renungan panjang dan pencarian yang tiada henti, tiba-tiba teringat kembali sesuatu yang begitu berkesan mengenai sebuah tulisan yang judulnya kira-kira sama. Ada yang perlu saya bagikan pada siapa pun. Karena pada prinsipnya, kelegaan yang paling dalam adalah ketika kita mampu berbagi sesuatu yangberkesan dengan tanpa jarak kesadaran akan hakikat kebaikan. Yang barangkali, jika diterima mampu memberi manfaat, atau paling tidak, kesadaran—yang terkadang bagisebagian kita menjadi begitu menutupi—lantaran bangunan-bangunan bertembok tebalbegitu kuat kita dirikan untuk mengurung dari segala sisi penemuan yang didapatkan olehorang lain. Bisa jadi ini penting, karena, laksana sebuah pohon yang ditumbuhkan dalamruang, dengan penjara pot bagi akar-akarnya dan di bawah atap bagi daun-daunnya, akanberbeda jauh pertumbuhannya dengan pohon yang dengan merdeka tumbuh di alam.
Memungkinkan dirinya dapat bersentuhan langsung dengan panas matahari, dalamnyabumi bagi akar-akarnya, dan udara bebas bagi gerai daun-daunnya. Seperti cerita yang pernah ditulis oleh Miranda Risang Ayu:

Konon jauh dipedalaman belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon memayungi tepinya,
kerapatan perdu menyembuyikannya kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk lutut melipat
kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa
permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran terus membesar sampai tepi-tepi yang
kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang
paling nyata adalah desiran angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau
sama sekali lenggang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam sekelilingnya.

Telaga itu begitu tenang. Cuma ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca. Telaga itu di mana? Di buku – buku cerita peri yang sedang mengaso bersama kupu-kupu bersayap indah dan bersama kelinci-kelinci lucu? Atau berada pada legenda di ujung pelangi saat para bidadari turun mandi? Atau dalam cerita pewayangan tempat para ksatria memulai tapa brata?
Telaga itu, di mana pun, ada sungguhan atau tidak ada, sering begitu nyata dalam bangunan imajinasi manusia. Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di balik belantara, jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman jiwa.
Telaga siapakah? Jika Anda sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk beristirahat dengan semilir anginnya. Jika Anda sedang haus, telaga sangat baik untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika Anda merasa hampa, telaga adalah cermin tempat ditemukanya kembali makna-makna. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah kehilangan orientasi dan sepi di tengah hiruk pikuk kesibukan.
Personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.

Seorang rekan yang berprofesi sebagi aktivis mengenyakkan badannya di emper sebuah kampus. Senja itu hampir saja datang dengan iringan angin sepoi yang sejuk. Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada dirinya sendiri, “ Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu capek harus selalu menjadi telaga….”

Oh, para aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian ogah menjadi telaga bagi sesama? Padahal, kalian diamanatkan Tuhan cinta—cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan menenangkan.

Berbagai cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di sekelilingnya, sehingga setiap orang—bahkan dirinya sendiri—akan terus mencari. Dan sejuk dihampirinya.

Seseorang yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikan
kebenaran pada yang lain, mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu menyederhanakan
puluhan kalimat menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, dan
membagikannya seperti membagikan segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpa
memandang bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkan
perbedaan agama! Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.

Namun telaga manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau panjang datang. Atau kelebihan air ketika musim hujan datang, ia akan mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itu yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga bukan akhir dari proses untuk “menjadi”.

“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan. Samudera itu luas. Kandungannya banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di dalamnya, orang mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun kota-kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya.
Memang, samudera tidak sejernih dan setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai raksasa datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada di sekelilingnya pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.

Jika telaga ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk ditunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas menemukan samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah semata. Tetapi, seorang perindu Allah dapat juga menemukan samuderanya bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau bahkan anak-anak. Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.

Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang sedang berjalan menuju-Nya. Menjadi telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam kedalamanspiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi dengankesadaran spiritual. Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita menjadi air terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan tempatnya, transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda lain. Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau samudera.

Dan pada akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan semangat yang mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya.